BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Selain
shalat fardu (wajib) ada juga shalat sunnah seperti shalat sunnah sebelum
maupun sesudah shalat fardu, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya.
Shalat
merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus
dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat
merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi
(tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat, maka
ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia
meruntuhkan agama (Islam). Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam
sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang
harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun
sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunah.
Untuk
membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas
tentang shalat sunnah kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pembahasan kali
ini juga di paparkan pengertian shalat sunnah dan macamnya.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah
ini akan disajikan materi dengan pembatasan sebagai berikut :
1. Apa
pengertin shalat sunnah ?
2. Apa
saja macam-macam shalat sunnah ?
3. Manfaat
melaksanakan shalat sunnah ?
C.
Tujuan
Pembahasan
Pembahasan
dalam makalah ini bertujuan supaya mahasiswa setelah mempelajarinya mampu :
1. Mengamalkan
shalat sunnah setiap waktunya
2. Mengetahui
pengertian shalat dan shalat sunnah
3. Memahami
macam shalat sunnah
4. Mengetahui
manfaat shalat sunnah
D.
Teknik
Pengumpulan Data
Dalam pencarian literatur, penulis
menggunakan teknik studi kepustakaan (library
research). Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
mencari buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dirumuskan. Selain itu,
penulis memanfaatkan website untuk mendapatkan tambahan litratur dan sebagai bahan perbandingan
pembuatan makalah.
BAB II
SHALAT SUNNAH
A.
PENGERTIAN
SHALAT SUNNAH
1.
Pengertian
Shalat
Menurut bahasa, shalat berarti
do'a sedangkan menurut istilah berarti menghadap jiwa dan raga kepada Allah. Berhadap hati kepada Allah dalam
bentuk beberapa perbuatan dan perkataan. Karena taqwa hamba kepada tuhannya,
mengagungkan kebesarannya dengan khusyu
dah ikhlas dalam bentuk perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam. Menurut cara-cara dan syarat-syarat yang telah
ditentukan.[1]
Shalat adalah tiang agama sebagaimana tersebut dalam
hadits, Rasulullah SAW bersabda :
Artinya:
“ Shalat adalah tiang agama”.
Hadist ini diriwayatkan oleh Al-baihaqy dari hadis umar dengan lafaz
lain,yaitu: “As-salatu ‘imadu d-din
“, artinya sembahyang adalah tiang agama”. Dan dalam hadis lain yang
diriwayatkan oleh Ad-Dailamy dalam masnad Al-firdaus dari Ali, dan Abu Na’iim
dalam kitab shalat, berbunyi “As-Shalatu ‘imaadu d-diin”,artinya “sembahyang
tiang agama”, dan dalam masnad Ahmad dari hadis Mu’az berbunyi : “Ra’su l-amri wa ‘imaaduhu sh-sha-laatu”,
artinya “kepada tiap urusan dan tiangnya
ialah shalat”.[2]
Sebuah bangunan gedung bila runtuh
tiangnya pasti runtuh gedungnya. Dan bila tiang dari sebuah gedung telah
runtuh, tidak dapat dipertahankan berdiri dan tegaknya gedung itu dengan segala
macam pasak dan tunjang. Bila tiang sebuah gedung berdiri kokoh barulah ada
gunanya segala pasak dan tunjang itu. Begitu pula shalat dengan islam.
Perhatikanlah, mudah-mudahan allah
merahmati kamu sekalian. Dan pikirlah baik-baik, kerjakanlah shalat itu
sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya, dan takutlah akan allah,
bertolong-tolonglah kamu untuk bersama-sama memperbaiki dan menyempurnakan
shalatmu. Nasehat menasehati, ajar mengajar, ingat mengingatkan satu dengan
yang lain, agar jangan sampai lalai dan lupa. Allah SWT memerintahkan agar
bertolong-tolong dalam kebajikan dan taqwa. Sedangkan shalat adalah
sebesar-besar kebajikan dan ketaqwaan.
Ralullah
SAW juga bersabda yaitu sebagai berikut :
Artinya:”
Yang pertama-tama ditanyai seorang
hamba(manusia) di hari kiamat nanti tentang perbuatannya ialah tentang shalat.
Bila shalatnya dapat diterima maka akan diterima seluruh amalnya, dan jika shalatnya
di tolak maka akan tertolak pula seluruh amal ibadahnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah dari hadist Tamim Ad-Daary, dan diriwayatkan pula oleh Abu
Ju’la dalam masnadnya dan olah Af-Dhiyaa’ dalam Al-Mukhtarah dan oleh
Al-Tharrany dari Anas.
Jadi shalat adalah puncak atau akhir
agama kita. Tentang shalat inilah kita nantipertama-tama akan ditanyai . tidak
ada agama lagi, tidak ada islam lagi. Kalau shalat sudah lenyap. Karena shalat
adalah shalat yang paling akhir perginya (lenyapnya) dari urusan agama (Islam).
Maka bila sesuatu telah lenyap bahagiaannya yang terakhir, artinya telah lenyap
seluruhnya. Agungkanlah itu berpegang teguhlah kamu terhadap soal terakhir dari
agamamu. Yaitu shalat. Janganlah kamu lalaikan, entengkan, sehingga kamu dengan
gampang saja mendahului imammu. Karena dengan mendahului imam, tidaklah sah
shalatnya, maka lenyaplah agamanya. Agungkanlah shalat itu mudah-mudahan Allah menurunkan rahmat-nya keoadamu dan peganglah
shalat itu seteguh-teguhnya jangan sampai terlepas dari tanganmu. Takutlah akan
Allah dalam soal shalat ini secara khusus. Dan juga dalam soal yang lain yang
diajarkan agama kita Islam.
2. Pengertian
Sunnah
Sunnah yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu
perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga
seorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak
dikenai hukuman. (Rachmat Syafe’i, 2010: 298)
Shalat sunah/nawafil/nafilah ialah shalat-shalat sunnah yang diluar dari shalat-shalat yang difardhukan. Shalat itu dikerjakan oleh Nabi
Muhammad untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk
mengharapkan tambahan pahala. Shalat yang apabila dikerjakan akan
mendapat pahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Shalat nawafil adalah shalat yang bukan wajib tetapi
dianjurkan pelaksanaannya kecuali pada lima waktu. Sesudah shalat subuh sampai
waktu terbit matahari tepat diatas kepala sampai condong ke barat, setelah shalat
ashar hingga terbenamnya matahari dan ketika masuknya waktu magrib.[3]
Berikut ini
terjemahan hadits tentang shalat nawafil :
“Senantiasalah hamba-Ku mendekati aku dengan
amal-amal yang nawafil, sehingga aku cinta kepadanya. Maka mana kala aku telah
cinta kepadanya, jadilah aku matanya yang dengan itu mereka mendengar, jadilah
aku lidahnya yang dengan itu mereka berkata; jadilah mereka tangannya yang
dengan itu mereka bekerja; jadilah aku kakinya yang dengan itu aku berjalan.
Dengan aku mereka mendengar,dengan aku mereka melihat, dengan aku mereka
berakal, dengan aku mereka bekerja dan dengan aku mereka berjalan.” Hadis Qudsi.
Hadis ini menunjukan betapa besarnya
astar shalat nawafil, sampai tuhan akan
sedang siapa yang di pimpinnya tentu tidak akan sesat semua
pekerjaannnya akan baik, tetapi jangan melupakan keluarga, bermasyrakat dengan
memelihara kesehatan. Allah mencela cara hidup kependetaan dengan firman-Nya
ayat 170 S. An-Nisa’ dan ayat 29 S. Al-Hadid. Ajaran Allah dan rosul melarang
cara beribadat yang berlebih-lebihan.[4]
Amirul Mu’minin Umar ibnu Khattab r.a.,
sering memasuki masjid pada siang hari. Bila beliau menemui orang-orang yang
terus menerus dalam ibadah, beliau menegur sambil berkata: janganlah kamu
berdo’a-do’a saja, Ya Allah Ya Robbi, sedang kamu tau bahwa langit tidak
menurunkan emas atau perak, maka berjuanglah di pasar-pasar dan di
ladang-ladang.
Artinya:
“Fardhu itu lebih utama daripada sunnah.”
Pengecualian:[5]
Ada
pula masalah yang dikecualikan dari kaidhah ini,antara lain:
1. Memberi dan memulai salam hukumnya sunnah,
sedangkan menjawab salam hukumnya wajib. Tetapi memulai lebih utama daripada
menjawab salam.
2. Adzan hukumnya sunnah, menjadi Imam shalat jum’at
wajib/fardhu ada. Walaupun begitu, melaksanakan adzan lebih utama daripada
menjadi imam jum’at.
3. Whudu sebelum datang waktu shalat hukumnya
sunnah. Sedangkan whudu sesudah masuk waktu dan akan shalat hukumnya wajib.
Meskipun demikian whudu sebelum datang waktu shalat lebih utama daripada whudu
sesudah masuk waktu.
B.
MACAM-MACAM
SHALAT SUNNAH
Shalat
sunnah terbagi dua yaitu:
1. Shalat
sunnah yang dilaksanakan secara berjamah. Shalat sunnah jenis ini status
hukumnya adalah muakkad, contohnya: shalat idul fitri, idul adha,
terawih, istisqa, kusuf dan khusuf.
Berikut
ini sedikit penjelasan dari shalat-shalat sunnah di atas :
a. Shalat
‘Id / Hari Raya
Shalat
hari raya dalam islam ada dua, yaitu :
1) Shalat
Idul Fitri yaitu shalat yang dilaksanakan tanggal 1 Syawal
2) Shalat
Idul Adha yaitu shalat yang dilaksanakan tanggal 10 Dzulhijah
Yaitu
shalat dua rakaat. Rakaat yang pertama dengan tujuh takbir, selain takbirotul
ihram, rakaat yang kedua dengan lima takbir, selain takbir untuk berdiri dari
rakaat yang pertama.[6]
Shalat
‘id dianjurkan pelaksanaannya dalam jumlah yang besar di tanah lapang terbuka,
diakhiri dengan khutbah berisi soal keagamaan dan kemasyarakatan.
Sesudah shalat Ied
dilakukan, maka berkhutbah dua kali, dalam khutbah pertama bertakbir sembilan
kali, dalam khtbah kedua bertakbir tujuh kali. Sesuai dengan hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yaitu :
Abu Sa’id Alhudri ra. Berkata yang terjemahannya: Adalah Rosullah saw
pergi ketempat shalat pada hari raya Fitr dan Adlha.mula-mula beliau melakukan shalat
Ied. Sesudah shalat beliau menghadap kepada orang banyak,sedangkan mereka masih
dalam keadaan dalam keadaan duduk dalam shaf mereka masing-masing. Rosulullah
berkhutbah memberi nasehat, berpesan dan memberikan perintah-perintah kepada
mereka.jadi belia ingin mengirim pasukan untuk perang, maka diputuskan ketika
itu. Dan jika ingin memberikan perintah, maka diperintahkan ketika itu pula
kemudian beliau pergi. (Bukhori
: 913/Muslim : 889).
Disunatkan bertakbir, tahmid
dan tahlil mula terbenam nya matahari malam hari raya fitrah sampai imam
melakukan shalat Ied. Dan pada hari raya Ied Adlha, takbir tahmid dan tahlil
dikumandangkan setelah selesai shalat fardlu, dimulai dari subuhnya hari arafah
( tanggal 9 dzulhijah) sampai pada shalat asar akhir tasyriq.
b. Shalat
Terawih
Yaitu shalat di waktu malam pada
bulan Ramadhan. Waktunya setelah shalat isya sampai terbit fajar. Boleh
dikerjakan sendiri-sendiri boleh berjamaah. Bilangan rakaat shalat tarawih
tidak ada yang menegaskan dengan pasti berapa jumlahnya, delapan atau dua puluh
rakaat. Namun ada beberapa hadits yang menjelaskan jumlah rakaat shalat terawih
yaitu:
Artinya : “Dari Aisyah katanya:
yang dikerjakan Rasulullah SAW di bulan Ramadhan atau lainnya tidak lebih dari
sebelas rakaat. (H.R. Bukhari)
Berikut
ini hadits yang diberitakan oleh Abid Ibnu Hamaid dan At Tabrani dari Ibnu
Abbas tentang shalat terawih 20 rakaat.
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW shalat di bulan Ramadhan adalah 20 rakaat dan witir”
Demikian
dua buah hadits yang menyatakan jumlah rakaat terawih, banyak yang
melaksanakannya. Dan shalat terawih yang dilaksanakan pada masa Umar, Usman dan
Ali adalah berjumlah 20 rakaat.
c. Shalat
Istisqa
Istisqa
itu artinya minta hujan. Caranya ada tiga yaitu :
1) Dengan
berdoa saja, baik sendiri-sendiri atau orang banyak. Rasulullah pernah meminta
hujan dengan doa saja.
2) Berdoa
di dalam khutbah Jum’at. Ini juga pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW.
3) Dengan
shalat dua rakaat. Sebelum shalat
dilaksanakan bersama, terlebih dahulu imam menganjurkan bertaubat, memberikan
sedekah kepada fakir miskin, meninggalkan maksiat, menghentikan permusuhan dan
memerintahkan puasa selama tiga hari. Kemudian pada hari keempat, imam bersama
orang banyak keluar dengan pakaian yang sederhana, dengan tenang dan
merendahkan diri, dan shalat dua rakaat seperti shalat Ied. Kemudian berkhutbah
dua kali dan membalikkan selindangnya.[7]
Abdullah bin Zaid bin Ashim ra berkata :
Nabi saw keluar rumah, pergi ketempat sembahyang untuk
menerima hujan. Kemudian beliau menghadap kiblat. Membalikan selindangnya dan shalat dua rakaat. (Bukhori : 966/Muslim : 894)
d. Shalat
Kusuf dan Khusuf
Shalat kusuf artinya shalat di waktu ada
gerhana matahari. Sedangkan shalat khusuf adalah shalat di waktu ada gerhana
bulan. Shalat gerhana dua rakaat berjamaah dengan tidak memakai adzan dan
qamat. Jika telah
berlalu tidak disunatkan mengqodlo. Sholat gerhana matahari atau bulan
dilakukan dua rakaat. Tiap satu rakaat dua kali berdiri,dua kali membaca surat
al-fatihah dan surat yang panjang,dua kali rukuk, dengan tasbih yang
panjang,dua kali sujud,demikian juga dengan rakaat yang kedua. Sesudah sholat
dua rakaat, diteruskan dua kali khutbah. Dalam gerhana matahari dilakukan
dengan suara pelan-pelan, sedang dalam gerhan bulan dilakukan dengan suara
keras.
Aisyah ra berkata yang
terjemahannya : Terjadi gerhana matahari
pada masa Rosulullah saw, karena beliau sholat bersama orang banyak. Lama
sekali beliau berdiri, kemudian ruku’ dan lama sekali dalam ruku’ nya, lalu
berdiri lama lagi tetapi tidak selama berdiri yang pertama, kemudian ruku’ lama
lagi, tetapi tidak selama ruku’ yang pertama, kemudian sujud dan setelah itu
beliau melakukan rakaat kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat yang
pertama. Setelah selesai sholat, matahari telah jelas kelihatan, setelah itu
maka nabi saw berkhutbah dan setelah memuji allah swt beliau bersabda :
sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran allah swt. Kedua nya
tertutup bukan karena kematian atau lahir seseorang. Apabila kamu melihat
gerhana maka berdoalah kepada allah swt, bertakbirlah, sholatlah dan
bersedekahlah. (Bukhori :997/Muslim : 901)
2. Shalat sunnah
yang dikerjakan secara munfarid ( sendiri-sendiri ). Status hukumnya ada yang sangat
dianjurkan ( muakkad ) seperti: shalat sunnah rawatib dan tahajud. Ada
pula yang status hukumnya sunnah biasa (ghairu
muakkad ) seperti: shalat tahiyatul
masjid, shalat dhuha, shalat witir, dan lain-lain.[8]
a. Shalat
Rawatib
Yaitu shalat sunnah
yang mengiluti shalat fardu. Dikerjakan sebelum atau sesudah mengerjakan shalat
fardu yang lima waktu.
Berilut ini sabda
Rasulullah SAW :
Artinya: “dari Abdullah bin Umar, katanya: “Saya ingat dari Rasulullah SAW dua
rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudah dzuhur, dua rakaat sesudah magrib,
dua rakaat sesudah isya, dan dua rakaat sebelum shubuh.(H.R.
Bukhari&Muslim)
b. Shalat
Tahajud
Yaitu shalat sunnah
yang dikerjakan pada waktu malam hari sedikitnya dua rakaat dan banyaknya tidak
terbatas. Waktunya adalah sesudah shalat isya sampai fajar siddik (shubuh).
Jika akan melakukan shalat tahajud disunahkan tidur terlebih dahulu. Waktu yang
paling baik untuk mengerjakannya yaitu sepertiga akhir malam.
Artinya: “dan sebagian malam hari, shalat tahajudlah
kamu, sebagai suatu tambahan ibadah bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat
kamu ke tempat yang terpuji.(QS. Al Isra:79)
Demikianlah Firman
Allah SWT telah menjamin bagi siapa saja yang mengerjakan shalat tahajud akan
diberi kedudukan yang terpuji, baik di dunia maupun di akhirat, oleh karena itu
hendaklah mengerjakan shalat tahajud dan shalat-shalat sunnah lainnya.
c. Shalat
Tahuyatul Masjid
Yaitu shalat yang
dimaksudkan untuk menghormati mesjid. Disunahkan bagi orang yang masuk ke
mesjid sebelum duduk dua rakaat. Sabda Rasulullah SAW :
Artinya :” Dari Abu Qatadah, berkata Rasulullah SAW,
apabila salah seorang kamu masuk mesjid, maka hendaklah ia jangan duduk sebelum
shalat dua rakaat dahulu.” (HR. Bukhari&Muslim)
d. Shalat Dhuha
Yaitu shalat dua rakaat atau lebih, sebanyak-banyaknya
12 rakaat ketika waktu dhuha, yaitu ketika maik matahari setinggi tumbak.
Kira-kira jam 8 atau jam 9 sampai tergelincir matahari.
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya
:”Dari Abu Hurairah, katanya, telah
berpesan kepadaku (Rasulullah SAW) tiga macam pesan: puasa tiga hari tiap-tiap
bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur.” (HR.
Bukhari&Muslim)
e. Shalat Witir
Shalat ganjil jumlah rakaatnya, ( 1,
5, 7, 9 dan 11 rakaat). Yang paling banyak sebelas rakaat dan sedikitnya satu
rakaat. Dikerjakan setelah shalat isya. Jika di bulan ramadhan dikerjakan
setelah shalat terawih. Sabda Nabi Muhammad SAW :
Artinya :”
Dari Abi Ayub, berkata Rasulullah SAW, witir itu hak, maka siapa yang suka
mengerjakan lima, kerjakanlah, siapa yang suka mengerjakan tiga, kerjakanlah
dan siapa yang suka mengerjakan satu, kerjakanlah,” (HR. Abu Daud &
Nasai)
1.
Menjadi amalan tambahan
kelak di hari kiamat seandainya pada saat melaksanakan shalat lima waktu tidak
sempurna.
2.
Mampu meninggikan derajat
serta menghapus dosa, kesalahan dan terbukanya pintu sorga bersama Rasulullah
SAW.
3.
Menimbulkan rasa cinta dan
merupakan wujud syukur kepada Allah SWT dari hamba-Nya.
4. Mendatangkan berkah, rejeki
dan kebaikan saat dikerjakan di rumah, karena menjadikan rumahnya sebagai
bagian dari shalatnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sholat merupakan
inti (kunci) dari segala ibadah juga merupakan tiang agama, dengannya agama
bisa tegak dengannya pula agama bisa runtuh.
Khilafiyyah kaum muslimin tentang shalat adalah hal yang biasa karena rujukan dan pengkajiannya semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, hendaknya perbedaan tersebut menjadi hikmah keberagaman umat islam.
Khilafiyyah kaum muslimin tentang shalat adalah hal yang biasa karena rujukan dan pengkajiannya semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, hendaknya perbedaan tersebut menjadi hikmah keberagaman umat islam.
Shalat sunah/nawafil/nafilah ialah shalat-shalat sunnah yang
diluar dari shalat-shalat yang difardhukan.
Shalat itu dikerjakan oleh Nabi Muhammad untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan untuk mengharapkan tambahan pahala. Shalat yang apabila
dikerjakan akan mendapat pahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Shalat sunnah ada dua yaitu muakkad dan ghairu muakkad. Yang termasuk
sunnah muakkad yaitu: shalat terawih, shalat ‘id dan lain sebagainya. Adapun yang status hukumnya sunnah biasa seperti:
shalat tahiyatul masjid, shalat dhuha, shalat witir, dan lain-lain.
B.
SARAN
Dalam pengumpulan materi pembahasan
diatas tentunya kami banyak mengalami kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu
hendaknya pembaca memberikan tanggapan dan tambahan terhadap makalah kami.
Sebelum dan sesudahnya kami haturkan banyak terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Rifa’i,
Moh. 1976. Risalah Tuntunan Shalat
Lengkap. Semarang : CV.Toha Putra.
Terjemah kitab Imam
Ahmad Ibnu Hambal oleh Umar Hubeis dan Bey Arifin, 1974, Betulkanlah Shalat Anda, Jakarta: Bulan Bintang.
Bisri, Moh. Adib, 1977,
Terjemah Al Faraidul Bahiyyah, Rembang:
Menara Kudus.
Musthafa Diibu Bhigha
(ahli bahasa: Moh. Rifa’i & Baghawi Mas’udi), 1986, Fiqih Menurut Mahdzab Syafi’i, Semarang: Cahaya Indah.
Rasjid,
Sulaiman, 1976, Fiqih Islam, Jakarta:
Attahiriyah.
http://dartoalfaresyah.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_18.html diunduh
27/02/2013
[1] Rifa’i, Moh. 1976. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang
: CV. Toha Putra. Hal.34
[2] Terjemah kitab Imam Ahmad Ibnu
Hambal oleh Umar Hubeis dan Bey Arifin, 1974, Betulkanlah Shalat Anda, Jakarta: Bulan Bintang. Hal.24
[3] Terjemah kitab Imam Ahmad Ibnu
Hambal oleh Umar Hubeis dan Bey Arifin, 1974, Betulkanlah Shalat Anda, Jakarta: Bulan Bintang. Hal.137
[4]
Terjemah kitab Imam Ahmad
Ibnu Hambal oleh Umar Hubeis dan Bey Arifin, 1974, Betulkanlah Shalat Anda, Jakarta: Bulan Bintang. Hal.138
[5] Bisri, Moh. Adib, 1977, Terjemah Al Faraidul Bahiyyah, Rembang :
Menara Kudus. Hal. 54
[6]
Musthafa Diibu Bhigha (ahli
bahasa: Moh. Rifa’i & Baghawi Mas’udi), 1986, Fiqih Menurut Mahdzab Syafi’i, Semarang: Cahaya Indah. Hal. 105
[7] Ibid.
Hal.109
[8] Rasjid, Sulaiman, 1976, Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah. Hal
135-149