BAB I
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
IJARAH
1)
Menurut Hanafiah
Ijarah adalah akad atas
manfaat dengan imbalan berupa harta[1].
2)
Menurut Malikiyah
Ijarah adalah sesuatu
akad yang memberikan hak memiliki atas manfaat suatu barang yang mubah untuk
masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.[2]
3)
Menurut Syafi’iyah
Ijarah adalah suatu
akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu bisa diberikan dan dibolehkan
dengan imbalan tertentu.[3]
4)
Menurut Hanabilah
Ijarah adalah suatu
akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.[4]
Dari
denifisi-definisi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasranya tidak
ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa menyewa. Dari definisi
tersebut dapat di ambil intisari bahwa ijarah
atau sewa menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan.
Para
fuqaha sepakat bahwa ijarah atau sewa menyewa merupakan akaq
yang dibolehkan oleh syara’, karena terkandung dalam QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6
yang artinya kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. kecuali
beberapa ulama. Seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan
Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual bli manfaat, sedangkan manfaat pada saat
dilakukannya akad tidak bisa diserahteimakan, setelah beberapa waktu barulah
manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak
ada pada waktu akad tidak boleh dijualbelikan.[5]
B. RUKUN
IJARAH DAN SYARAT-SYARATNYA
1) Rukun Ijarah
Menurut Hanafiah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, yakni pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan.
Sedangkan menurut ulama jumhur, rukun ijarah
itu ada empat, antara lain:
a)
‘aqaid,
yaitu
mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa)
b)
Shigat,
yaitu
ijab qabul.
c)
Ujrah
uang (uang sewa atau upah), dan
d) Manfaat,
baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga dari orang yang
bekerja.
2) Syarat-syarat Ijarah
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijarah ini juga terdiri atas empat
syarat, antara lain:
a)
Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)
b)
Syarat nafadz (berlangsungnya akad)
c)
Syarat sahnya akad, dan
d) Syarat
mengikatnya akad (syarat luzum)
BAB
II
ANALISIS
Penelitian ini berangkat dari fenomena pada jasa persewaan
sepeda motor yang semakin hari permasalahannya semakin kompleks. Pada rental
setiap kerusakan yang terjadi pada barang sewaan, adakalanya kerusakan tersebut
diganti oleh penyewa dan ada kalanya juga kerusakan tersebut ditanggung oleh
pihak yang menyewakan tergantung seberapa berat kerusakan tersebut. Jasa
persewaan sepeda motor ini merupakan sebuah usaha yang bergerak dibidang sewa
menyewa yang dalam hukum muamalah disebut dengan Ijarah.
Permasalahan yang diteliti adalah pertama, akad yang
digunakan pada persewaan sepeda motor, kedua penyelesaian sengketa penyelesaian
sengketa apabila terjadi wanprestasi antara penyewa dengan yang menyewakan di
persewaan sepeda motor, ketiga, tanggung jawab atas kerusakan barang sewa di
persewaan sepeda motor. Pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: akad
yang digunakan dalam Jasa Persewaan Sepeda Motor telah sesuai dengan ijarah dan
diperbolehkan, karena telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Kemudian
Penyelesaian sengketa antara penyewa dengan yang menyewakan barang apabila
terjadi wanprestasi ini adalah sudah sesuai dengan ijarah, karena dalam
menyelesaikan masalah tersebut sudah ada sikap saling tolong-menolong dan
penyelesaiannya dengan cara musyawarah dan hal tersebut sangat dianjurkan dalam
Islam. Dan tanggung jawab pada barang sewaan apabila terjadi kerusakan adalah
sudah sesuai dengan ijarah karena adanya ganti rugi oleh pihak yang melakukan
kesalahan dengan unsur kesengajaan.
oleh: moh bahrul ilmi
[1]
Muhammad bin Abu Bakar As-Sarakhsi, AL-Mabsuth,
juz 6, CD Room, Al-Fiqh ‘ala Al=Madzahib Al-Arba’ah, Silsilah Al-‘Ilm
An-Nafi’, Seri 9, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm. 319.
[2]
Ali Fikri, op.cit., hlm. 87.
[3]
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah
Al-Akhyar fi Hilli Ghayah Al-Ikhishar. Juz 1. Dar Al-‘Ilm, Surabaya, t.t.,
hlm. 249.
[4]
Syamsuddin bin Qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh
Al-Kabir, Juz 3, Dar Al-Fikr, t.t., hlm. 301.
[5]
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh AL-Islamiy wa
Adillatuh, juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm. 730.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar