Selasa, 30 September 2014

ijarah




BAB I
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN IJARAH
1)        Menurut Hanafiah
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta[1].
2)        Menurut Malikiyah
Ijarah adalah sesuatu akad yang memberikan hak memiliki atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.[2]
3)        Menurut Syafi’iyah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.[3]
4)        Menurut Hanabilah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.[4]
Dari denifisi-definisi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasranya tidak ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa menyewa. Dari definisi tersebut dapat di ambil intisari bahwa ijarah atau sewa menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan.
Para fuqaha sepakat bahwa ijarah atau sewa menyewa merupakan akaq yang dibolehkan oleh syara’, karena terkandung dalam QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6 yang artinya kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. kecuali beberapa ulama. Seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual bli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukannya akad tidak bisa diserahteimakan, setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh dijualbelikan.[5]
B.       RUKUN IJARAH DAN SYARAT-SYARATNYA
1)    Rukun Ijarah
       Menurut Hanafiah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, yakni pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan. Sedangkan menurut ulama jumhur, rukun ijarah itu ada empat, antara lain:
a)        ‘aqaid, yaitu mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa)
b)        Shigat, yaitu ijab qabul.
c)        Ujrah uang (uang sewa atau upah), dan
d)       Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga dari orang yang bekerja.
2)    Syarat-syarat Ijarah
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijarah ini juga terdiri atas empat syarat, antara lain:
a)        Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)
b)        Syarat nafadz (berlangsungnya akad)
c)        Syarat sahnya akad, dan
d)       Syarat mengikatnya akad (syarat luzum)




BAB II
ANALISIS
Penelitian ini berangkat dari fenomena pada jasa persewaan sepeda motor yang semakin hari permasalahannya semakin kompleks. Pada rental setiap kerusakan yang terjadi pada barang sewaan, adakalanya kerusakan tersebut diganti oleh penyewa dan ada kalanya juga kerusakan tersebut ditanggung oleh pihak yang menyewakan tergantung seberapa berat kerusakan tersebut. Jasa persewaan sepeda motor ini merupakan sebuah usaha yang bergerak dibidang sewa menyewa yang dalam hukum muamalah disebut dengan Ijarah. 
Permasalahan yang diteliti adalah pertama, akad yang digunakan pada persewaan sepeda motor, kedua penyelesaian sengketa penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi antara penyewa dengan yang menyewakan di persewaan sepeda motor, ketiga, tanggung jawab atas kerusakan barang sewa di persewaan sepeda motor. Pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: akad yang digunakan dalam Jasa Persewaan Sepeda Motor telah sesuai dengan ijarah dan diperbolehkan, karena telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Kemudian Penyelesaian sengketa antara penyewa dengan yang menyewakan barang apabila terjadi wanprestasi ini adalah sudah sesuai dengan ijarah, karena dalam menyelesaikan masalah tersebut sudah ada sikap saling tolong-menolong dan penyelesaiannya dengan cara musyawarah dan hal tersebut sangat dianjurkan dalam Islam. Dan tanggung jawab pada barang sewaan apabila terjadi kerusakan adalah sudah sesuai dengan ijarah karena adanya ganti rugi oleh pihak yang melakukan kesalahan dengan unsur kesengajaan. 

 oleh: moh bahrul ilmi




[1] Muhammad bin Abu Bakar As-Sarakhsi, AL-Mabsuth, juz 6, CD Room, Al-Fiqh ‘ala Al=Madzahib Al-Arba’ah, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, Seri 9, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm. 319.
[2] Ali Fikri, op.cit., hlm. 87.
[3] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah Al-Ikhishar. Juz 1. Dar Al-‘Ilm, Surabaya, t.t., hlm. 249.
[4] Syamsuddin bin Qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, Juz 3, Dar Al-Fikr, t.t., hlm. 301.
[5] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh AL-Islamiy wa Adillatuh, juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm. 730.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar